Beranda | Artikel
Keluar Uang Demi Melestarikan Sunah
Rabu, 1 November 2017

Bismillah ….

Memotivasi orang menyedekahkan hartanya untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, sekolah, atau kegiatan sosial keagamaan lainnya, itu sering kita dengar. Namun, pernahkah Anda mendengar motivasi mengeluarkan harta, hanya dalam rangka mengamalkan satu sunah? Barangkali, ini motivasi langka yang pernah Anda dengar. Namun, tidak langka bagi para ulama pembela sunah. Semangat mereka dalam melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun hanya satu sunnah, telah mereka buktikan dalam kehidupannya meskipun harus mengeluarkan modal yang besar.

Berikut ini kami cantumkan beberapa riwayat tentang antusiasme ulama dalam mengamalkan dan melestarikan warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bisa menjadi motivasi bagi kita untuk menjaga sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap relung kehidupan kita.

Untuk menjaga kesan keaslian, kami cantumkan beserta teks arabnya.

Pertama, semangat Imam Ahmad dalam mengamalkan sunah.

Imam Ahmad pernah mengatakan,

ما كتبت حديثاً عن النبي صلى الله عليه وسلم إلا وقد عملت به ، حتى مرّ بي الحديث : (أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأعطى أبا طيبة الحجام ديناراً )، فاحتجمتُ وأعطيتُ الحجّام دينارا.

“Tidaklah aku menulis sebuah hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku berusaha untuk mengamalkannya. Sehingga sampai padaku hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan beliau memberi Abu Thibah si tukang bekam dengan uang satu dinar. Karenanya, aku pun berbekam dan memberi satu dinar kepada si tukang bekam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 11:213)

Hadis tentang bekam di atas diriwayatkan oleh Bukhari. Agar tidak terkesan amal yang ringan, saya tak lupa mengingatkan bahwa satu dinar besarnya adalah 4,25 gr emas. Jika kita rupiahkan, dengan asumsi harga emas 470 rb/gram maka kurang lebih uang yang dikeluarkan Imam Ahmad untuk mengamalkan sunnah bekam adalah Rp 1.997.500. Ya … hampir dua juta. Semoga Allah merahmati beliau, Imam ahlus sunnah.

Kedua, rela untuk utang, demi sunah aqiqah.

Salah satu putra Imam Ahmad, yang bernama Saleh, pernah bertanya kepada beliau, “Ada seseorang yang anaknya baru lahir, namun dia tidak memiliki dana untuk aqiqah. Mana yang lebih baik menurut Ayah: berutang untuk aqiqah, atau mengakhirkan aqiqahnya sampai dia memiliki kemudahan untuk melaksanakannya?”

Jawaban Imam Ahmad,

أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عنه عليه الصلاة والسلام: (كل غلام مرتهن بعقيقته) وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل له الخلف لأنه أحيا سنة من سننه عليه الصلاة والسلام واتبع ما جاء عنه

“Hadis yang paling tegas dalam hal ini adalah hadis tentang Al-Hasan dari Samurah radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya.’ Saya berharap, jika dia berhutang (untuk aqiqah), agar Allah segera menggantinya, karena dia menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajaran yang beliau bawa.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 64)

Ketiga, Abu Hatim berutang agar bisa membeli unta untuk berkurban.

Sufyan Ats-Tsauri pernah bercerita,

كان أبو حاتم يستدين ويسوق البُدْن، فقيل له: تستدين وتسوق البدن؟ فقال: إني سمعت الله يقول: {لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }

“Dahulu, Hatim pernah berutang dan membeli unta. Kemudian, beliau ditanya, ‘Engkau berutang untuk membeli unta kurban?’ Beliau dengan bangga menjawab, ‘Saya mendengar Allah berfirman, ‘لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (Kalian mendapatkan banyak kebaikan pada unta kurban tersebut).`” (Tafsir Ibnu Katsir, untuk surat Al-Hajj, ayat 36)

Keempat, satu dirham demi satu sunnah yang dianggap ringan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil menukil perkataan Ibnu Abdil Bar, bahwa Imam Abu Daud (penulis kitab sunan), pernah berada di atas perahu di tengah laut. Tiba-tiba, beliau mendengar orang bersin di pinggir pantai dan membaca “alhamdulillah“. Bagaimana beliau bisa mendengarnya, padahal beliau berada di tengah laut? Itu tidak penting bagi kita. Yang jelas, beliau mendengar dengan cara normal. Kemudian Abu Daud menyewa perahu dengan satu dirham, sehingga beliau bisa menghampiri orang yang bersin dan mendoakannya. Setelah itu, beliau kembali lagi ke laut. Ketika beliau ditanya tentang alasannya, beliau menjawab,

لعله يكون مجاب الدعوة

“Mudah-mudahan menjadi doa yang mustajab.”

Ketika mereka (para penumpang perahu temannya Abu Daud) tertidur, tiba-tiba mereka mendengar ada orang yang berkata, “Wahai para penumpang perahu, sesungguhnya Abu Daud telah membeli surga dari Allah dengan satu dirham.” (Fathul Bari, 10:610. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Sanadnya baik.”)

Dalam hal ini, Imam Abu Daud mengamalkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حق المسلم على المسلم ست: …وإذا عطس فحمد الله فشمته…

“Kewajiban muslim kepada muslim yang lain ada enam: … (salah satunya) jika dia bersin kemudian memuji Allah maka doakanlah.” (H.r. Ahmad; dinilai sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)

Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa mendoakan orang yang bersin dan dia membaca hamdalah merupakan kewajiban bagi yang mendengarnya untuk mendoakannya.

Andaikan Anda berada di posisi tersebut, apa yang bisa dibayangkan? Mungkin kita semua akan sepakat untuk tidak memedulikannya. Apalagi harus keluar modal.

Semoga kita bisa meniru kebiasaan mereka. Amin …. Allahu waliyyut taufiq.

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2357-keluar-uang-demi-melestarikan-sunah.html